Sejak 101 tahun lalu, ketika bangkitnya era Kebangkitan Nasional yang dimotori oleh Dr Soetomo dan Dr Wahidin Soediro Hoesodo melalui Boedi Oetomo, yang diusung adalah memerangi kemiskinan. Ada 3 (tiga) hal pokok yang dituju yaitu: membangun kemajuan (fisik dan non fisik) yang selaras dan harmonis untuk negeri dan bangsa, memajukan pengajaran dan pendidikan budi luhur (karakter) bangsa dan memajukan perekonomian rakyat (cukup sandang, pangan papan). Kemudian ketika UUD tahun 1945 diundangkan, ketiga hal tersebut nyata-nyata tertuang dalam pasal-pasal UUD tahun 1945, antara lain bahwa pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memajukan kesejahteraan umum seluruh rakyat. Tidak itu saja, pemerintah berkewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Di samping kedua hal tersebut, pemerintah dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia, wajib melakukan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam hal mana negara menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan untuk menjadikan manusia Indonesia yang unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, sekaligus menjadikan insan Indonesia yang berkarakter, dan berjati diri Indonesia dalam menangkap peluang kemajuan ekonomi dunia untuk pengembangan kesejahteraan bangsa dalam prinsip keadilan sosial.
Ironisnya, setelah 101 tahun kemudian, ketika rakyat sudah melewati masa kemerdekaan hampir 64 tahun lamanya, kenyataan bahwa sampai hari ini, sebagian rakyat masih berpredikat buta huruf dan masih banyak pula yang mengalami hidup di bawah garis kemiskinan. UU tentang jaminan sosial pun, hampir tak terdengar kemana rimbanya.
Pendidikan yang kini tumbuh berkembang pesat, justru berefek samping melahirkan banyaknya koruptor; memang tidak seluruh anak bangsa menjadi koruptor, tetapi mereka-mereka para pelaku korupsi justru orang-orang yang umumnya sudah menyandang berbagai pendidikan.
Dalam hal kasus-kasus yang menyangkut kriminalitas, kejahatan, pembunuhan, teroris, mereka adalah orang-orang yang telah menikmati pendidikan cukup. Timbul pertanyaan, lalu apa yang masih kurang bagi mereka dan bangsa yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa, kekayaan yang berlimpah ini? Sudah tentu tulisan ini tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, tetapi renungan, tentang masalah pokok, yaitu karakter bangsa dan relevansinya dengan memerangi musuh bangsa yaitu kemiskinan.
Mengapa Pendidikan karakter?
Kepentingan nasional Indonesia merupakan kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia yang di dalamnya mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Implementasinya apa? Rumusan mencerdasakan kehidupan bangsa itu memiliki 2 (dua) arti penting yaitu membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya. Pengertian cerdas harus dimaknai, bukan saja sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi yang manusiawi, tetapi cerdas emosional artinya memiliki kecerdasan emosional yang dengan bahasa umum disebut sebagai berkarakter mulia atau berbudi luhur, berakhlak mulia. Sedangkan berbudaya memiliki makna sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara (karakter bangsa).
Barangkali untuk kedua hal itulah, baik pemerintah maupun masyarakat relatif masih setengah hati untuk mengembangkannya secara utuh. Meskipun data-data berikut ini masih bisa diperdebatkan, tetapi setidaknya memberikan gambaran bahwa pendidikan kita relatif masih kedodoran. Secara jujur diakui bahwa pemerintah telah berupaya keras, bahkan di tahun 2009 ini menaikan APBN pendidikan nasional menjadi 20 persen, tetapi setuju atau tidak kenyataannya secara umum negara (pemerintah) belum mampu menyediakan kesempatan dan akses pendidikan bermutu secara adil bagi semua warga negara dengan muatan lahirnya generasi yang berkarakter.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa kekuatan pasar telah menerobos dunia pendidikan di tanah air, sehingga muncul privatisasi sekolah dan komersialisasi pendidikan yang menjadikan sekolah mahal. Buka hanya itu, inilah salah satu muatan yang diteriaki orang sebagai bentuk-bentuk liberalisme baru atau neo liberalisme. Maraknya privatisasi dan industrialisasi sekolah serta ketidakmampuan negara dalam memastikan pendidikan bermutu yang terjangkau bagi semua warga negara menyebabkan timbulnya semacam pengelompokan atau faksionalisasi siswa di sekolah-sekolah, menurut latar belakang sosio-ekonomi, agama dan etnisitas.
Sisi lainnya yang dapat dilihat adalah bahwa pendidikan masih menjadi alat kekuasaan negara, dimana sekolah dijadikan sebagai institusi instrumental dari negara dan mengabdi kepada kepentingan politik sesaat siapapun pemegang pemerintahan. Hal itu tercermin karena kurang cermatnya membuat sebuah grand design pendidikan nasional, sehingga selalu muncul masalah kurikulum, sampai-sampai ada ungkapan ganti menteri ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum.
Beban kurikulum yang terlalu padat sekolah hanya mementingkan satu hal yaitu nilai kelulusan, dan ada kesan guru menjadi tidak lebih hanya sekedar operator kurikulum. Kualitas pendidikan nasional yang relatif rendah, juga tercermin dari kompetisi sumber daya manusia Indonesia yang rendah. Menurut HDI (Human Development Index), Indonesia berada pada rangking ke 112 dari 175 negara, demikian pula menurut World Competitivenes Year Book (WCY), Indonesia hanya menempati rangking 58 dari 60 negara. Tetapi sekali lagi, yang lebih memprihatinkan adalah bahwa kondisi umum pendidikan di Indonesia relatif masih berorientasi pada aspek pengajaran formal (transfer pengetahuan dan pemahaman) dan belum sepenuhnya berorientasi pada aspek pendidikan (transfer pembangunan karakter).
Hal tersebut dikemukakan mengingat dekandensi moral di era globalisasi dewasa ini, dinilai telah sangat mengkhawatirkan. Ini juga merupakan bentuk-bentuk liberalisasi budaya. Karenanya, agar masyarakat dapat terjaga dari serangan budaya yang tidak sesuai dengan norma-norma budaya Pancasila sebagai moral bangsa, pendidikan karakter perlu di revitalisasi. Suka atau tidak suka, saat ini bangsa Indonesia sedang berada di tengah pusaran hegemoni dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya menghadirkan kemudahan dan kenyamanan hidup bagi manusia, tetapi juga mengundang sejumlah permasalahan baru.
Contoh sederhana adalah teknologi multi media yang berubah begitu cepat. Selain makin memudahkan dalam pencarian informasi, teknologi ini juga memiliki kekayaan muatan yang tidak terbatas, baik ragam maupun kemudahan mengaksesnya. Tetapi dibalik semua itu, juga sangat potensial untuk mengubah gaya hidup seseorang. Bahkan dengan mudah dapat merambah ke pintu-pintu keluarga yang semula dibangun dengan kesantunan atau ke dalam bilik-bilik keluarga yang semula sarat dengan norma susila. Oleh karena itu, pendidikan karakter (learning character atau yang dulu dikenal dengan character building), dinilai sangat penting untuk di revitalisasi, tidak hanya di sekolah, namun juga di berbagai tingkat dan kesempatan, mulai dari rumah sampai istana presiden dan bukan diberikan sambil lalu atau bahkan sebatas pelajaran pelengkap saja.
Arti penting dari pendidikan karakter
Mengoptimalkan muatan-muatan karakter baik dan kuat (sifat, sikap, dan perilaku budi luhur, akhlak mulia) yang menjadi pegangan kuat dan modal dasar pengembangan individu dan bangsa nantinya. Dunia barat pun sudah sejak lama menyadari betapa ilmu pengetahuan tanpa karakter menjadi tidak berarti. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Inteligence menyatakan betapa kepribadian manusia mendominasi 80 persen dari kehidupan seseorang, dibanding dengan 20 persen kecerdasan otaknya semata-mata. Para teknokrat di dunia barat sudah sadar bahwa betapa pun sebuah kemajuan dicapai, dapat menjadi perusak bila tidak dibekali dengan perimbangan karakter yang di dalamnya menggabungkan kaidah-kaidah etika, moral dan agama. Karena itu, pendidikan yang sekarang ini dijalankan oleh bangsa Indonesia, harus dapat memberikan andil dalam pembentukan karakter bangsa, akan lebih mudah jika pembelajaran karakter itu direvitalisasi melalui agama.
Musuh laten manusia pada hakikatnya adalah kemiskinan. kebanyakan orang membicarakan kemiskinan sebatas kemiskinan rasional. Hal itu tidak salah, tetapi tidak seluruhnya tepat. Bertepatan dengan pilpres 2009 ini, idealnya para capres/cawapres perlu mengusung jargon mengentaskan rakyat dari kemiskinan, sebagai akibat dari adanya kebodohan dan keterbelakangan. Ada jargon bahwa bangsa yang miskin, akan tetap bodoh, dan bangsa yang bodoh selamanya akan miskin. Kita ingin bahwa siapapun para presiden/wapres 2009-2014 yang terpilih nantinya, harus mau dan mampu mengentaskan kemiskinan, baik hal itu menyangkut kemiskinan rasional, kemiskinan emosional dan kemiskinan spiritual. Sebab sekali lagi, kemiskinan adalah musuh bangsa.
Kemiskinan rasional, adalah akibat dari rendahnya pikiran. Hal tersebut karena rendahnya penguasaan ilmu. Akibatnya seseorang miskin dalam mengembangkan kreatifitas, budidaya dan teknologi yang kemudian membuat seseorang menjadi miskin harta dan materi. Tegasnya, dalam kemiskinan rasional, tekanannya adalah kemiskinan harta dan materi. Sementara itu kemiskinan emosional, fitur-fitur utamanya merujuk kepada rendahnya rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama, lebih mengedepankan egoisme, egoisitas dan mengabaikan toleransi serta simpati dan empati. Akibatnya, seseorang menjadi rendah kepekaannya dan hidupnya selalu was-was, tidak tenang, serba takut yang pada hakikatnya tidak mampu membangun kebahagiaannya. Bentuk kemiskinan yang ketiga adalah kemiskinan spiritual. Fitur utamanya adalah karena rendahnya iman. Seseorang yang imannya rendah, hampir dipastikan taqwanya rendah. Begitu pula dengan karakter dan akhlaknya. Seseorang yang karakternya serta akhlaknya rendah, mengakibatkan miskin hati nurani, miskin kepedulian dan miskin amal shalih dan tentu saja miskin iman dan akhlak. Jika ketiga kemiskinan tersebut menghinggapi seseorang, maka menjadi terintegrasi, wujudnya adalah kemiskinan makna hidup, yang dapat terjadi pada individu, masyarakat, golongan dan bangsa. Seseorang koruptor bisa jadi ia sudha kaya dalam harta. Ilmunya pun cukup, tetapi dipastikan ia mengalami kemiskinan emosional dan spiritual. Penjelasan tentang makna-makna kemiskinan tersebut memberikan alasan betapa pendidikan karakter itu menjadi amat penting dan memiliki kedudukan yang sentral. Kita tahu bahwa pendidikan itu, intinya membuat seseorang lahir sebagai manusia-manusia yang berkarakter baik, kuat di samping cerdas secara akal.
Ke depan, kita berharap bahwa pemerintah era 2009-2014 mampu mengembalikan fungsi pendidikan tidak untuk membangun kecerdasan intelektual saja, tetapi juga untuk menjadikan manusia Indonesia yang berkarakter mulia dan menjadikan pendidikan karakter sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Untuk merevitalisasi pendidikan karakter bangsa itu, idealnya substansi karakter dan jati diri bangsa termuat dalam UU Diknas. Semoga.
sumber:
harian umum pelita
image:
perkantasjatim.org