Dalam rangka meningkatkan reputasi penelitian Indonesia, dosen saat ini seolah dikejar-kejar target untuk menerbitkan artikelnya di jurnal internasional terindeks Scopus. Sayangnya, tidak semua dosen memiliki kapabilitas meneliti dan menulis artikel jurnal internasional. Belum lagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa publikasi di Scopus berujung sekian nominal yang harus dikocek dari kantong. Hal itu membuat Hastowohadi gusar. Bersama ketiga koleganya, ia pun kemudian mendirikan Komunitas Meneliti Banyuwangi yang kemudian bertransformasi menjadi organisasi Perkumpulan Peneliti dan Penulis Ilmu Sosial Indonesia (PERIISAI) yang mendapuk dirinya sebagai direktur.
Dari Guru ke Dosen
Hastowohadi, M.Pd. merupakan alumni Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP UMM. Pria asli Desa Cluring, Kabupaten Banyuwangi ini besar di keluarga pendidik. Ibunya mengawali karier menjadi guru TK, sementara ayahnya mengawali karier sebagai PNS guru SD dan SMP kemudian menjadi pengawas. Keluarga besar, terutama dari ayah, pun banyak yang berprofesi di dunia pendidikan.
Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya, lambat laun Hasto mulai berkeinginan menekuni profesi yang sama dengan kedua orang tuanya, yakni menjadi guru. Akhirnya, selepas SMA ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang lantaran ia sudah menyukai lagu Bahasa Inggris sejak kanak-kanak.
Usai lulus S1, Hasto mengajar di dua SMK swasta di Banyuwangi. Hal itu berjalan selama tiga tahun. Sampai akhirnya, ia bertekad untuk tidak larut di zona nyaman dan memutuskan untuk mengambil studi S2 meski dengan biaya pribadi. Namun, keputusan itu justru mengantarkannya pada takdir baru. Ia mendapatkan tawaran menjadi dosen bahkan sebelum menjadapatkan ijazah S2. Sebagai konsekuensinya, ia harus bolak-balik Malang-Banyuwangi setiap akhir pekan.
Berhutang Demi Mengikuti Workshop Publikasi Ilmiah
Semasa menjalani profesi sebagai dosen, Hasto menyadari betul bahwa ia masih awam dalam dunia riset dan publikasi. Padahal, dua hal itu adalah nyawa dari profesinya.
Hal itu dikarenakan cukup banyak perkuliahan S2 yang ditinggalkannya karena mengajar di dua kampus berbeda. Di salah satu kampus itu, ia bahkan menjabat sebagai kaprodi. Alhasil, update keilmuan terbengkalai. Apalagi, tahun 2016 kondisi perekonomiannya jatuh karena ada masalah pekerjaan dan juga menderita sakit lambung yang cukup parah. Terpaksa, keinginan untuk belajar menulis tertunda karena harus fokus ke ekonomi dan kesehatan dulu.
Setelah kesehatannya agak pulih, ia menyempatkan ikut konferensi sana-sini untuk menimba ilmu. Waktu itu ia masih dalam kondisi yang pas-pasan, sehingga kadang ia terpaksa harus hutang sana sini.
“Pernah, saya nekat tetap berangkat dengan sepeda motor sendirian ke Solo untuk ikut konferensi, padahal saya belum bayar. Alhamdulillah di detik akhir ada teman yang minjami,” pungkasnya.
Dirikan Komunitas Menulis Banyuwangi
Ada hal lain yang begitu mengganjal di hati Hasto. Bahwa ternyata untuk bisa terbit di jurnal internasional terindeks Scopus, penulis harus membayar sejumlah uang yang tidak sedikit dalam ukurannya. Bukan semata tentang nominal, tetapi praktik yang demikian ia rasa bertentangan dengan nuraninya.
Beruntung, koleganya, Sandi Ferdiansyah, mengenalkannya pada Prof. Handoyo Puji Widodo yang mematahkan kegusarannya. Tak hanya mengajari bagaimana menjadi peneliti dan penulis yang andal, Prof. Handoyo benar-benar menekankan bagaimana menerbitkan artikel Scopus tak berbayar.
“Dalam bahasa beliau, ini Scopus Syariah. Publikasi artikel Scopus yang tidak berbayar,” tambahnya.
Di lain sisi, ketika mengikuti workshop-workshop itu, Hasto kemudian menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ada banyak sekali dosen yang juga masih terseok-seok dalam meneliti dan menulis artikel. Berangkat dari sana, bersama ketiga koleganya-Sandy Ferdiansyah, Rahman, dan Inayatul Mukaromah-ia pun mendirikan “Komunitas Menulis Banyuwangi” pada tahun 2017 sebagai wadah untuk para dosen-peneliti, akademisi, dan praktisi untuk saling belajar dan menghasilkan karya nyata di publikasi riset dan buku. Mereka pun meminta Prof. Handoyo Puji Widodo sebagai pembina.
Menjadi Direktur PERIISAI
Komunitas Meneliti Banyuwangi berkembang dengan pesat. Aktivitasnya tidak hanya diikuti oleh dosen atau peneliti di Banyuwangi dan jenis kegiatannya pun berkembang. Jika awalnya hanya berupa workshop, tahun 2020 dilaksanakan sayembara penulisan artikel dan dilakukan pendampingan secara intensif hingga terbit di Journal of International Students terindeks Scopus Q2 tak berbayar.
Akhirnya, awal tahun 2021 Prof. Handoyo menginisiasi pembentukan Perkumpulan Peneliti dan Penulis Ilmu Sosial Indonesia (PERIISAI). Lewat rapat internal komunitas, akhirnya muncullah nama Hastowohadi sebagai direktur.
Sejujurnya, ungkap Hasto, ia tidak menyangka akan ditunjuk sebagai direktur. Menurutnya, ia belum pantas berada pada posisi itu. Namun, atas dukungan dari sesama pengurus dan juga Prof. Handoyo, ia memberanikan diri untuk melaksanakan amanah itu. Saat ini, PERIISAI sudah memiliki 300 anggota aktif. Ia pun berharap PERIISAI bisa berkontribusi besar dalam dunia riset Indonesia.
“Sudah waktunya karya-karya peneliti Indonesia merajai publikasi internasional. Itu hanya bisa dicapai bila kita punya niatan untuk terus belajar dari para mentor yang benar-benar telah terbukti hasilnya. Nah, PERIISAI ada untuk itu, sehingga harapannya tentu bahwa PERIISAI bisa memberi dampak terhadap internasionalisasi penelitian Indonesia,” tutupnya. (*fid)