Grand Design Pendidikan Karakter

Rabu, 02 Juni 2010 17:00 WIB   Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Oleh Prof Dr Marihot Manullang


Budaya kekerasan seringkali kita lihat belakangan ini. Salah satu yang membuat bangsa kita diklaim sedang kehilangan karakter adalah terjadinya kerusuhan yang melanda Koja Tanjung Priok. Terjadi tontonan yang menonjol kekerasan antara masyarakat di sekitar Koja Tanjung Priok dengan ratusan aparat Satpol PP. Memang selama ini bentrok antara warga negara dengan aparat pemerintah, apakah satpol PP, TNI, Polri sudah seringkali terjadi. Salah satu faktor penyebab adalah persoalan ekonomi. Masyarakat mengklaim sangat sulit untuk mencari makan. Maka berjualan di tempat umum pun menjadi pilihan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi, yang terjadi adalah kemacetan dan ketidakaturan. Hanya saja jika kita mau jujur, apakah masyarakat mau berjualan di tempat itu kalau memang ada tempat yang lebih baik?


Bagaimana pemerintah menjadi fasilitator pelayanan publik tidak dimiliki oleh negara. Pemerintah serius bisa menggusur tanpa bisa menunjukkan alternatif berjualan bagi masyarakat misalnya. Belum lagi status klaim tanah yang berakibat pada penggusuran. Ancaman penggusuran menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi semua negara. Kemudian masyarakat seringkali menempuh cara kekerasan sehingga tidak punya karakter sebagai warga negara yang baik mengedepankan dialog. Bagaimana mengatasinya ini? Perlu grand design tentang pendidikan karakter bangsa.


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial dan melemahnya mentalitas positif.

Dari sejumlah fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah politik, ekonomi dan sosial budaya dapat diselesaikan dengan SDM. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat. Salah satu aspek yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.

Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun rohani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sindiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah “… agar manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital. Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa. Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya kasus-kasus aktual, masih banyak ditemukan siswa yang menyontek dikala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak kemnadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.

Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.

Kenapa Pendidikan?

Pendidikan merupakan hal terpenting membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ‘ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan perilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000:194).

Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sial, ada kepekaan emosiaonal, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappire dalam Suyanto dan Hisyam, 2000:186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.

Ciri karakter SDM

SDM merupakan aset paling penting untuk membangun bangsa yang lebih baik dan maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yang kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang berbeda dengan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang melekat dalam dirinya.
Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep tentang manusia Indonesia yang berkarakter dan senantiasa melekat dalam kepribadian bangsa. Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi (1) religious, yaitu sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan rohani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa.

Untuk itu sudah saatnya dilakukan perubahan mendasar dalam dunia pendidikan. Bagaimana membuat bangunan pendidikan yang didalamnya ditanamkan karakter bangsa dan masyarakat yang membangun. Artinya budaya kekerasan jangan lagi menonjol dan kalau bisa dibabat habis. Dialog yang mengedepankan etika dan saling menghargai sudah saatnya ditanamkan melalui pendidikan. Jika tidak budaya barbarisme yang lebih besar dari masalah tanjung priok bisa terjadi.

 

sumber: hariansib.com

Shared: