FKIP News—Seiring perkembangan zaman, ranah penggunaan bahasa semakin luas dan fenomena kebahasaan semakin beragam. Hal ini berimplikasi pada perkembangan kajian linguistik. Salah satunya kajian linguistik forensik. Istilah ini digunakan pertama kali oleh seorang Profesor linguistic Bernama Jan Svartvik dalam laporannya yang berjudul “The Evans Statement: A Case for Forensic Linguistics” pada tahun 1968. Secara sederhana, linguistik forensik dapat diartikan sebagai penerapan prinsip-prinsip dan metode kajian linguistik dalam masalah hukum dan penegakan hukum.
Hal ini mendorong mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) membuat forum kajian mahasiswa di bawah Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Bahtera bertajuk “Forum Kajian Linguistik Forensik”.
Ketua HMPS Bahtera, Nila Anis Fatul Rodiah, mengatakan forum ini hadir pada diskusi proker bersama pembina HMPS, Faizin, M.Pd. “Kebetulan kami angkatan 2023 pada semester 3 juga sudah mendapatkan mata kuliah tersebut dan kami merasa kajian ini sangat menarik dan sangat bermanfaat,” kata Nila, sapaan akrabnya.
Menurut Nila, mahasiswa Bahasa Indonesia perlu mempelajari linguistik forensik karena alasan multidisipliner, aplikasi praktis, dan kontribusi sosial yang diberikan. Linguistik forensik menawarkan perspektif unik yang menggabungkan ilmu bahasa dengan ilmu hukum, memungkinkan mahasiswa memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks hukum. Keahlian ini juga memiliki aplikasi praktis dalam penyelidikan kejahatan, memberi mahasiswa kemampuan untuk menganalisis bukti linguistik. “Selain itu, dengan belajar linguistik forensik, mahasiswa dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap keadilan sosial, membantu mengidentifikasi dan menyelesaikan kasus hukum melalui analisis bahasa,” ujarnya.
Meskipun demikian, forum ini tidak hanya ditujukan untuk mahasiswa Prodi pendidikan Bahasa Indonesia, tetapi juga mahasiswa umum UMM.
Diskusi perdana Forum Linguistik Forensik ini dihelat Sabtu lalu (16/03) di ruang BIPA, basement GKB IV. Ditemui selepas acara, bersama salah satu dosen lingustik Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fida Pangesti, S.Pd., M.A. Dalam diskusi ini, Fida mengangkat tema “Berkenalan dengan Linguistik Forensik” melalui bedah kasus penistaan agama Ahok tahun 2019 silam. Kasus yang bermula dari pidato Ahok di Pulau Seribu itu memang menjadi kasus yang sangat besar dan menimbulkan dampak gelombang demontrasi besar-besaran di Monas yang dikenal dengan Gerakan 212.
Dari kegiatan mencermati bersama video pidato Ahok, pengakuan Ahok, dan hasil analisis ahli forensik, Prof. Rahayu Surtiati, para peserta diberi gambaran bahwa bahasa juga merupakan serpih bukti perkara dalam persidangan. Ia pun memberikan contoh lain dalam kasus pembunuhan Beryl Susan Evans dan Geraldine oleh Timothy John Evans (suami Beryl) pada tahun 1949 yang terkuak dari hasil analisis bahasa pada keterangan yang diberikan Evans. “Bahasa sama halnya seperti senjata, bekas jari tangan, sepatu dan lain-lain dalam sebuah kejahatan. Ia adalah bukti. Jadi, bukti-bukti yang tertinggal setelah suatu tindak kejahatan terjadi tidak hanya berupa bukti fisik, tetapi juga dapat berupa bukti bahasa,” ungkap Fida.
Kajian linguistik forensik berkaitan dengan semua bidang linguistik, baik itu mikrolinguistik seperti fonologi, morfologi, semantic, sintaksis, dan wacana maupun makrolinguistik seperti sosiolinguistik, prakmatik, psikolinguistik, leksikografi, dan dialektologi. Bidang kajiannya pun sangat luas. “Hal-hal yang dikaji dapat berupa bahasa dari dokumen legal, bahasa dari polisi dan penegak hukum, interview dengan saksi yang rentan dalam sistem hukum, interaksi dalam ruang sidang, bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli dalam persidangan, kepengarangan dan plagiarism, bahkan fonetik forensik dan identifikasi penutur,” tambahnya.
Bidang kajian yang luas ini selanjutnya akan menjadi topik pada diskusi-diskusi selanjutnya. Rencananya, diskusi akan digelar satu bulan sekali dengan mengkaji kasus nyata dari berita yang telah/sedang terjadi. (*fd)