FKIP News—Moh. Isnaini, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), sukses meraih gelar Doktor pada Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (UNESA).
Sidang Promosi Doktor dihelat pada Rabu, 19 Juni 2024, di Auditorium Lantai 4 Gedung T14. Krisna, sapaan akrabnya, berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Lanskap Linguistik di Malang Raya Kajian Sosiopragmasemantika”.
Ketertarikannya dalam mengkaji topik ini bermula dari observasinya bahwa budaya berbahasa di Malang Raya memiliki karakteristik daibandingkan daerah lain. Karakteristik ini tampak dari aspek penyajian informasi di ruang public yang tidak hanya menunjukkan bilingualisme, tetapi juga multilingualisme. “Fenomena ini menarik karena di baliknya terepresentasi karakteristik sosiokultural dan sosio-simbolis penggunaan bahasa di ruang publik,” ungkapnya.
Sejalan dengan itu, fokus penelitian Krisna yaitu menemukan bentuk, makna sign, dan fungsi lanskap linguistik di Malang Raya. Untuk membedah fokus penelitian tersebut, Krisna mengumpulkan data berupa reklame, kafe, papan pengumuman, baliho, petunjuk arah, spanduk, usaha jasa, warung, toko, rumah makan, dan nama jalan di Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu.
Temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu bentuk lanskap linguistik di Malang Raya menunjukkan adanya informasi monolingual, bilingual, dan multilingual. “Bentuk monolingual terlihat pada penggunaan bahasa Jawa pada nama warung, toko, reklame dan lainnya. Bentuk bilingual umumnya berupa campuran bahasa Indonesia dan Jawa dan digunakan pada rumah makan, kafe, dan jalan. Sementara multilingual bisa ditemui pada spanduk, baliho, dan pengumuman. Dari ketiga jenis ini, bilingual digunakan secara dominan,” terang dosen yang juga menjabat sebagai Kepala Humas UMM itu.
Selanjutnya, makna sign dalam lanskap linguistic Malang Raya didominasi dengan onomastika atau penamaan. Makna sign terdiri atas makna konseptual, sosial, reflektif, kolokatif, afektif, tematik, dan konotatif yang tampak pada tempat bersejarah, tempat istimewam unsur geografis, dan nama apahlawan. “Namun, makna sign yang paling banyak muncul adalah pada tempat bersejarah. Hal ini tak lepas daari upaya pemerintah Malang Raya dalam melestarikan tempat-tempat bernuansa heritage,” pungkasnya.
Adapun fungi lanskap linguistic meliputi fungsi informatis dan simboli, fungsi informatif dan direktif, dan fungsi simbolik-etis. Dari ketiganya, yang paling dominan muncul adalah fungsi informatif-direktif, khususnya pada papan reklame dan spanduk di Malang Raya.
Istimewanya, secara teoretis, hasil penelitiannya ini telah menghasilkan disiplin baru dalam penelitian lanskap linguistik, yaitu sosiopragmasemantika yang merupakan integrasi dari sosiolinguistik, pragmatik, dan semantik. Ia pun brharap agar peneli-peneliti selanjutnya terus mengembangkan kajian ini agar dapat mempertajam kajian sosiopragmasemantika menjadi disiplin ilmu baru dalam penelitian bahasa dan sastra.
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, ia juga merekomendasikan pemerintah untuk memberikan panduan pemberian informasi di ruang publik. “Pemerintah sebaiknya dapat memberikan rambu-rambu aturan dalam penyusunan dan penulisana informasi di ruang public, sehingga tetap mengacu pada Undang-Undang tentang penggunaan bahasa di ruang public,” pungkasnya. (*fd)