Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila menjadi topik panas dalam beberapa pekan terakhir. Berbagai pandangan muncul, baik mendukung maupun dengan tegas menolak. Merespon isu tersebut, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang menggelar webinar sebagai wadah kajian akademik, Kamis (2/7/20).
Dalam keterangannya, ketua panitia webinar, Moch. Wahyu Kurniawan, M.Pd menyatakan kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pencerahan mengenai bagaimana Pancasila sebagai Ideologi Negara ditempatkan secara proporsional dalam aspek kehidupan ketatanegaraan.
“Tujuan diselenggarakannya kegiatan ini adalah untuk mensosialisasikan bagaimana seharusnya Pancasila ditempatkan secara proporsional. Kita akan mendapatkan wawasan dan pencerahan dari para pakar yang hadir dalam webinar ini,” terang dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan itu usai kegiatan.
Respon yang diperoleh pun luar biasa. Tak kurang dari 2.500 peserta mengikuti webinar bertema “RUU HIP: Pelemahan Ideologi Pancasila?” menyimak paparan para pemateri, yakni Yudi Latif, Ph.D dari Aliansi Kebangsaan, Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Dr. Nurul Zuriah, M.Si, dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam paparannya, ketiga pemateri sepakat RUU HIP sejatinya tak diperlukan, tidak urgen, dan sangat lemah metodologis-filosofis, sehingga tak perlu diteruskan lagi pembahasannya. Dr. Abdul Mu’ti pun menyebutkan, PP Muhammadiyah dalam pernyataan resminya telah menegaskan menolak RUU ini.
Sama halnya, Yudi Latif, Ph.D pada uraian awalnya menyatakan bahwa ideologi Pancasila tidak boleh dipolitisasi.
“Pelajaran terpenting yang dapat diambil dari Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ini memberikan kita kesadaran bahwasanya ada sesuatu yang tidak boleh dipolitisasi dalam kehidupan politik di Indonesia. Apa lagi yang bersifat fundamental dalam keberlangsungan kehidupan suatu bangsa, seperti Pancasila,” tegas tokoh yang telah menulis banyak buku bertema Pancasila ini.
Ia menilai, pasal-pasal yang muncul dalam RUU HIP mengindikasikan adanya ketidakseriusan dalam penyusunannya. Orang-orang yang menyusun dan mengusulkan terkesan tidak serius. Ada banyak miskonsepsi yang ditemukan. Hal-hal elementer tidak terkoneksi dengan baik dan antar pasal tidak sejalan.
Pada akhir paparannya, pria yang pernah aktif di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini pun menegaskan bahwa RUU HIP justru menimbulkan masalah baru.
“RUU ini bermasalah. Ketidakjernihan RUU ini justru melahirkan isu decline dan kontraproduktif terhadap usaha-usaha sosialisasi Pancasila,” pungkas penulis buku Negara Paripurna ini.
Dari sudut pandang akademisi, Dr. Nurul Zuriah menguraikan telaah atau analisis terhadap pasal-pasal RUU HIP yang dinilainya melenceng dari nilai-nilai Pancasila, di antaranya Pasal 3 ayat 1, Pasal 3 ayat 2, Pasal 5, Pasal 6 ayat 1, Pasal 7, dan Pasal 8 huruf f. Atas telaah tersebut, Nurul Zuriah memberikan tiga kesimpulan.
“Simpulannya, RUU HIP bermaksud menggeser ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dengan paham materialism; RUU HIP bermaksud untuk mendukung Pancasila setara dengan negara; dan RUU HIP akan menjadi sumber konflik karena pasal-pasalnya tidak koheren dan memberi peluang terjadinya intervensi kekuasaan terhadap Pancasila,” pungkas dosen senior Prodi PPKn FKIP UMM yang juga menjabat sebagai Ketua AP3KnI (Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) Jawa Timur.
Sementara itu, sebagai penutup, Dr. Poncojari Wahyono, M.Kes., Dekan FKIP UMM yang langsung berperan selaku moderator mengimbau para peserta untuk tetap menyikapi isu dan RUU HIP ini dengan bijaksana. Protes-protes dan penolakan haruslah tetap dilakukan secara santun, beretika, dan melalui jalur yang semestinya.
“Penolakan RUU HIP ini dilakukan oleh puluhan organisasi kemasyarakatan dengan argumentasi yang sangat rasional. Namun, penolakan ini tentu harus dilakukan dengan penuh kesantunan dan bijak. Jadi, bukan penggalangan suara atau kegiatan-kegiatan yang tidak beretika,” tutur Dr. Poncojari Wahyono mengakhiri diskusi. (*fid/rif)