Malang--Dunia digital yang berkembangan begitu cepat melahirkan satu isu yang sedang hangat-hangatnya dikaji dalam berbagai diskursus, yakni digital citizenship. Salah satunya, webinar yang digelar Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang bekerja sama dengan Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI), Sabtu (15/01/2021). Mengangkat tema “Pancasila di Era Digital Citizenship: Tantangan, Peluang, dan Prospeknya demi Indonesia tangguh dan tumbuh”, webinar yang digelar secara daring ini diikuti tak kurang dari 320 peserta dari berbagai perguruan tinggi. Dalam sambutannya, Drs. Moh. Mansur Ibrahim, M.H., menjabarkan urgensi pembahasan topik ini.
“Dunia digital berkembangan begitu cepat dan merambah ke berbagai sektor kehidupan manusia. Dalam dunia ekonomi misalnya, saat ini semakin sedikit transaksi yang menggunakan uang fisik karena sudah bergeser ke uang digital. Kita menggunakan media sosial setiap hari. Hal ini menuntut kita untuk terlibat, untuk lebih mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan digital, termasuk tata cara penggunaan digital, bagaimana etika penggunaan digital,” ungkap Ketua Prodi PPKn tersebut.
Pasalnya, masih menurut Mansur selama ini ditengarai masih banyak persoalan yang terjadi dimana pengguna digital menyinggung atau memang dengan sengaja menggunaan media digital sebagai instrumen untuk menyakiti hati orang lain.
“Berangkat dari situ, Prodi PPKN UMM merasa turut bertanggung jawab tentang bagaimana dunia digital menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan,” tambah Mansur.
Webinar yang merupakan luaran Mata Kuliah Seminar PPKn ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Prof. Dr. Kokom Kumalasari, M.Pd., Dr. NurulZuriah, M.Si., dan Sugeng Winarno, M.Sc.
Mengawali pembahasan, Prof. Dr. Kokom Kumalasari, M.Pd., menjelaskan konsep kewarganegaraan digital. Menurutnya, kewarganegaraan digital merujuk pada kualitas perilaku individu dalam berinteraksi di dunia maya, khususnya dalam jejaring sosial dengan menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab sesuai dengan norma dan etika yang berlaku. Dalam kewarganegaraan digital ada prinsip yang harus dibangun, yaitu menghormati diri kita dan menghormati orang lain, mendidik diri dan mendidik oraang lain, dan melindungi diri dan melindungi orang lain.
“Jadi, di sini ada kesalingterhubungan antara kita dengan orang lain. Dan Untuk bisa mencapai itu, ada sembilan elemen kewarganegaraan digital, yaitu digital access, digital commerce, digital communication, digital literacy, digital law, digital right & responsibilities, digital health & wellness, digital securiy, dan digital etiquette,” pungkas dosen PPKn Universitas Pendidikan Indonesia dengan kepakaran pada Pembelajaran PPKn itu.
Masih menurut Kokom, membangun generasi menjadi warga negara digital yang baik harus dimulai dari budaya sekolah. Juga, diintegrasikan dalam pembelajaran PPKn.
“Guru harus menerapkan kerangka Technological Pedagogical Kontent Knowledge (TPACK) dalam pembelajaran PPKn dengan strategi pembelajaran yang berfokus pada Contextual Teaching and Learning & Scientific Learning, Self Regulated Learning, value-based education, dan blended learning,” pungkasnya.
Sejalan dengan itu, Dr. Nurul Zuriah, M.Si., menggarisbawahi bahwa konsep kewarganegaraan digital tidak bisa dipisahkan dari konsep pelajar Pancasila. “Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ketika Profil Pelajar Pancasila ini sudah tertanam, maka secara otomatis mereka akan menjadi a good digital citizenship,” terang dosen senior Prodi PPKn Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Pada praktiknya, pengguna media sosial diharapkan selalu memegang etika bermedia sosial yang baik dan benar dengan selalu memperhatikan konsep THINK. Artinya, sebelum berkomunikasi di dunia digital, pengguna harus mempertanyakan apakah itu benar? (True), apakah itu menyakitkan? (Hurtful), apakah itu ilegal? (Illegal), apakah itu penting? (Necessary), dan apakah itu santun? (Kind).
Ada berbagai tantangan dalam penguatan profil pelajar Pancasila di era digital citizenship ini. Beberapa di antaranya yaitu sikap individualis, kosmopolit, sikap ahistoris, dominasi media sosial, dan tuntutan serba kongkret dan instan.
“Belum lagi permasalahan keamanan data, etika berkomunikasi, kenyamanan, ancaman/bulliying, hoax-hate speech, serta jaminan dan kepastian hukum. Itu adalah hal-hal yang harus kita pecahkan bersama,” tandas Nurul.
Di sisi lain, pembahasan tentang bagaimana warganet yang beradap dikupas oleh pemateri ketiga, Sugeng Winarno, M.Sc. Dalam pembahasan awalnya, Sugeng menyodorkan data digital civility index yang dirilis Microsoft Februari tahun lalu yang menyatakan bahwa netizen Indonesia paling tidak punya adap di internet. Oleh sebab itu, menurutnya, yang paling krusial adalah etika bermedia sosial.
“Urgensi dari etika bermedia sosial bahkan mendorong PP Muhammadiyah mengeluarkan panduan bagaimana warga Muhammadiyah menggunakan media sosial. Prinsipnya, wargaNet Muhammadiyah diharapkan menjadikan media sosial sebagai wahana silaturahmi, bermuamalah tukar informasi,dan berdakwah amar ma’ruf nahi munkar,” terang dosen Ilmu Komunikasi yang juga menjabat sebagai kepala Humas Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Lebih lanjut, ia membagikan tips bermedsos yang beradap, yaitu menggunakan nama asli, batasi informasi pribadi yang ada, tidak sembarangan menerima undangan pertemanan, tidak mudah percaya dengan teman, cek kebenaran informasi pemilik akun, tidak berkata kasar, tidak memposting foto “pribadi”, menghindari “nyampah” di timeline. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman akan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tak kalah krusial dalam menciptakan warga digital yang beradap.
“Interaksi di media sosial tidak lepas dari Undang-undang ITE. Orang Indonesia belum memahami hal itu sehingga banyak terjerah hukum. Jadi, melek hukum digital juga sangat penting,” tegasnya. (*fid)