FKIP News—Sebanyak 738 guru, dai/daiyah, dan penyuluh agama Islam dari seluruh Indonesia mengikuti Program Internasional Bersertifikat “Pengenalan Literasi Keagamaan Lintas Budaya” yang digelar atas kerja sama Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Leimena Institute dan Templeton Religion Trust. Workshop digelar secara synchonus dan asynchronus selama 5 hari, 4—8 Maret 2024.
Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan eksistensi dan kolaborasi damai antaragama di Indonesia dengan mengenalkan literasi keagamaan lintas budaya bagi guru dan penyuluh agama. Ada tiga kompetensi yang dikembangkan dalam kegiatan ini, yakni kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif. Kompetensi pribadi merujuk pada kemampuan memahami diri sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan Anda dengan orang lain. Kompetensi komparatif merujuk pada kemampuan memahami orang lain sebagaimana dia memahami dirinya sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan mereka dengan dirinya. Sementara kompetensi kolaboratif merujuk pada kemampuan dalam memahami konteksi potensi kolaborasi di antara aktor-aktor yang berbeda keyakinan.
Dalam acara ini, hadir memberi sambutan Dekan FKIP UMM Prof. Dr. Trisakti Handayani, M.M dan Wakil Dekan I FKIP UMM, Dr. Sugiarti, M.Si, serta Direktur Eksekutif Institute Leimena, Matius Ho. Hadir pula ahli-ahli sebagai narasumber, yakni Prof. Dr. Abdulkadir Rahardjanto, M.Si (Wakil Dekan II FKIP UMM), Dr. Nurbani Yusuf, M.Si (Staf Ahli Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan UMM), Dr. Alwi Shihab (Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerjasama Islam 2015-2019), Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), Pdt. Dr. Henriette T. Lebang (President World Council of Churches), Dr. Chris Seiple (Senior Research Fellow, University of Washington), Dr. Ari Gordon (Direktur Muslim-Jewish Relations, American Jewish Committee), Dr. David Rosen (Special Adviser to the Abrahamic Family House in Abu Dhabi, UAE), dana Dr. David Saperstein (Duta Besar Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional 2014-2017).
Toleransi Sosial Keagamaan sebagai Solusi Kekerasan dan Konflik di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, menurut Dr. Nurbani Yusuf, kekerasan dan konflik yang disebabkan oleh perbedaan masih kerab terjadi. Bahkan, data menunjukkan bahwa sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Indonesia selama 2020. Menyikapi hal tersebut, peserta diajak untuk kembali pada ajaran Islam. “Kita harus menyadari bahwa Islam itu sumber damai dan nirkekerasan. Itu bisa kita lihat misalnya pada Q.Q. Al-Maidah ayat 32, Q.S. Al-Baqarah Ayat 256 dan Ayat 62, serta keteladanan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW,” kata dosen senior Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tersebut.
Ia pun menjelaskan bahwa penanganan konflik agama dapat diatasi melalui pendekatan bina-damai (peacebuilding), jaga-damai (peacekeeping), dan cipta-damai (peacemaking). Bina damai yaitu membangun rasa percaya untuk mengurangi mispersepsi dan stereotipe berkaitan dengan hal mendasar untuk memutus rantai penyebab konflik dan kekerasan. “Sementara itu, jaga-damai berkaitan dengan penggunaan instrument negara seperti militer dan cipta-damai berkaitan dengan aksi nyata dan komitmen menolak kekerasan langsung atau structural dalam format apa pun,” kata founder komunitas Padhang Makhsyar ini.
Lebih lanjut, Prof. Dr. Abdulkadir Rahardjanto, M.Si dalam paparannya mengatakan toleransi sosial keagamaan menjadi kunci dalam mengatasi konflik ini. Konsep harmoni sosial-keagamaan mencakup Kerjasama lintas agama, hidup berdampingan secara damai, dan kebebasan beragama. Implementasinya terwujud dalam pembelajaran multikultural yang mengajarkan keberagaman, memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap budaya dana agama, serta meningkatkan kepekaan terhadap perbedaan. “Yang tidak kalah penting, kurikulum harus mengintegrasikan keragaman budaya, agama, dan kehidupan sosial dalam pembelajaran. Kegiatan ekstrakurikuler juga mengakaomodasi dialog antar agama dan pertukaran budaya,” pungkas Kadir.
Oleh sebab itu, guru harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam mengenai toleransi sosial mengingat guru memiliki tanggung jawab yang besar besar dalam membentuk pemikiran dan sikap toleran pada generasi muda. “Guru harus mampu menyampaikan ajaran ini secara relevan dan dapat dipahami siswa melalui fasilitasi ruang diskusi terbuka dan penyediaan lingkungan belajar yang inklusif,” tegasnya.
Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dalam Sidang PBB ke-55 di Jenewa, Swiss
Keberhasilan dan urgensi Workshop Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) ini telah disampaikan Deputi Perwakilan Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan organisasi lainnya, Duta Besar Achsanul Habib, dan Direktur Leimena Institute, Matius Ho, dalam acara tambahan (side event) di sela-sela Sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB ke-55 di Jenewa, Swiss, Selasa (12/3).
Mengutip dari AntaraNews.com, Dubes Achsanul Achsanul menjelaskan bahwa LKLB ini menjadi bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia. “Literasi keagamaan lintas budaya telah menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri Indonesia yang dipromosikan lewat dialog antaragama yang telah terjalin secara bilateral dengan 34 negara mitra,” ungkapnya.
Karenanya, pada bulan Agustus 2023, pemerintah Indonesia memprakarsai Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) untuk memprioritaskan komitmen global dalam mengimplementasikan Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 tentang “Melawan Intoleransi, Stereotip, dan Stigmatisasi Negatif, serta Diskriminasi, Hasutan untuk Melakukan Kekerasan dan Kekerasan terhadap Orang-orang Berdasarkan Agama atau Kepercayaan”. Selanjutnya, pada bulan November 2023, Kementerian Hukum dan HAM RI bersama Institut Leimena menggelar Konferensi Internasional tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya untuk mendorong masyarakat yang damai dan inklusif.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menyebut literasi keagamaan lintas budaya merupakan wujud inisiatif dan best practice pendekatan pendidikan dari Indonesia untuk mengatasi masalah intoleransi dan membangun relasi lebih baik antar penganut agama yang berbeda. “Dalam waktu kurang dari 2,5 tahun, Leimena Institute telah menggandeng 25 lembaga mitra untuk melatih lebih dari 7.000 pendidik di 34 provinsi di Indonesia tentang literasi keagamaan dan lintas budaya ini,” pungkasnya. (*fd)