FKIP-FAI UMM Gelar Konferensi Internasional, Bahas Pengembangan Profesi dan Spiritualitas Pasca Pandemi

Jum'at, 30 September 2022 02:46 WIB   Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

 

Malang—Merespon isu pendidikan dan spiritualitas di masa pandemi dan pascapandemi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang gelar The International Conference on Education (ICEdu), Rabu (28/09/22). Kegiatan yang digelar secara daring inibertujuan untuk menyediakan platform bagi para peneliti, pakar, dan praktisi dari akademisi, pemerintah, LSM, lembaga penelitian, dan industri untuk bertemu dan berbagi kemajuan mutakhir di bidang pendidikan, spiritual, dan kehidupan profesional. Karenanya, tema yang diangkat yakni “Strengthening professional and Spiritual Education through 21st Century Skill Empowerment in Pandemic and Post-Pandemic Era”.  

Dalam sambutannya, Wakil Rektor I UMM, Prof. Dr. Syamsul Arifin menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar transfer pengetahuan. Mengutip pandangan filsuf Melayu-Muslim terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, konsep tarbiyah tidak mencakupi kegiatan pendidikan yang sederhana yang disebut ta’lim, tetapi mencakup kegiatan pendidikan yang lebih mendalam yakni ta’dib yang mengedepankan pengembangan karakter. Konsep ini terkendala untuk dicapai dalam pendidikan di masa pandemi.

“Sekarang, situasi sudah berubah. Siswa sudah bisa pergi ke sekolah dan menikmati pengalaman langsung di dalam kelas mereka. Jadi, kita harus berjuang untuk menghidupkan Kembali dan merevitalusasi Pendidikan yang menekankan pada pentingnya pengembangan karakter yang baik untuk anak-anak didik kita,” ujar Syamsul.

Untuk mendukung tema yang diangkat, FKIP UMM menghadirkan tiga pembicara utama yaitu Prof. Te-Sheng Chang dari National Dong Hwa University Taiwan, Assoc. Prof. Dennis Alonzo, Ph.D dari University of New South Wales Australia, dan Prof. Muhammad Ali dari University of California Riverside. Tak hanya itu, ada pula pembicara undangan yaitu Prof. Dr. Tobroni, M.Si, Prof. Dr. Dwi Priyo Utomo, M.Pd., dan Prof. Dr. Ribut Wahyu Eriyanti, M.Si., M. Pd dari Universitas Muhammadiyah Malang.

Mengawali paparannya, Prof. Te-Sheng Chang mengatakan bahwa pengembangan profesionalisme dosen telah lama menjadi komponen penting dalam Pendidikan tinggi. Selama 4 dekade terakhir, pada rentang tahun 50-an hingga 90-an, pengembangan profesionalisme dosen telah mengalami lima fase. Tahun 50-an dan 60-an adalah era para sarjana yang berfokus pada keterampilan penelitian dan produktivitas. Tahun 70-an adalah era pengajar yang berfokus pada pengembangan keterampilan pengajar. Tahun 80-an adalah era pengembang, yang berfokus pada pengajaran dan penelitian yang bersifat fakultas sentris. Tahun 90-an adalah era pelajar, yang berfokuas pada perubahan apradigma dari mengajar menjadi belajar. “Saat ini kita berada di era kerja sama dan jejaring yang berfokus pada kolaborasi antarfakultas untuk mendorong kajian interdisipliner,” terang Profesor National Dong Hwa University, Taiwan ini.  

Oleh karena itu, masih menurut  Te-Sheng Chang, pembelajaran berbasis masalah yang berorientasi pada proyek penting untuk diterapkan. Pasalnya, desain pembelajaran ini tidak hanya memacu kreativitas mahasiswa, tetapi juga meningkatkan profesionalisme pengajar di universitas. “Untuk itu, kurikulum perlu dikembangkan dengan menggabungkan tiga konsep kunci, yakni desain partisipatif, pemikiran yang visioner, dan komunikasi visual,” terangnya.

Selanjutnya, Dennis Alonzo, Ph.D. mempresentasikan pemikiran yang menarik tentang arah pengembangan profesionalisme, yakni dari guru ke siswa, terutama dalam konteks pembelajaran di masa pandemi. Menurut Denis, ada ketidaksesuaian antara konten pengembangan profesionalisme guru dan kebutuhan di sekolah. Pasalnya, hasil observasi menunjukkan bahwa 50% capaian belajar siswa berasal dari diri siswa sendiri. “Artinya, siswa adalah kontributor utama dalam pembelajarannya. Siswa yang bisa terlibat dalam pembelajaran memiliki peluang sukses yang lebih tinggi,” ungkapnya.

Oleh karena itu, guru harus menyiapkan pembelajaran saat ini agar siswa bisa siap untuk tetap belajar mandiri pada masa pasca pandemi ini.    

“Tiga hal yang perlu disiapkan untuk mengalihkan focus pengembangan profesionalisme dari guru ke siswa ini yaitu waktu; model implementasi, dalam arti perlu pelatihan khusus atau cukup tertanam dalam proses belajar-mengajar; dan desain implementasi jika dirasa perlu dilatihkan kepada siswa secara eskplisit,” tambah dosen senior dari University of New South Wales, Australia ini.

Setelah paparan pemateri kunci, para peserta dibagi dalam enam ruang virtual untuk menyimak paparan para pembicara undangan dan juga para pemakalah. Prof. Dwi Priyo Utomo selaku pembicara undangan memaparkan ihwal pentingnya kompetisi dibandingkan kolaborasi dalam makalah bertajuk "Praktik Pendidikan Kita: Mengutamakan Kompetisi daripada Kolaborasi”. Profesor dari Prodi Matematika ini mengkritisi adanya pengelompokan siswa pada kelas paralel justru berdampak buruk pada siswa. Misal, adanya kelas unggulan, kelas semi-unggul, dan kelas regular; atau adanya kelas olimpiade, kelas akselerasi, dan kelas regular. “Pengelompokan ini dapat melejitkan kompetensi siswa secara akademik, namun agaknya untuk keterampilan sosial justru kebalikannya,” pungkasnya.

Prof. Dr. Ribut Wahyu Eriyanti kali ini mengambil angle yang berbeda dalam mengupas tema konferensi. Ia menyoroti bagaimana peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kemendidikan dalam menyiapkan pendidik professional abad 21. Menurutnya, ada tiga pilar penting dalam revitalisasi peran LPTK ini. Pertama, pendidikan berbasis kompetensi menjadi salah satu misi utama perguruan tinggi (LPTK). Sebagai pendidik, kompetensi yang harus dimiliki meliputi keompetensi pedagogi, professional, kepribadian, dan sosial. Kedua, membekali peserta didik penguasaan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya pemanfaatan Internet of things (IoT) pada dunia Pendidikan, pemanfaatan virtual/augmented reality, pemanfaatan Artifical Intelligence (AI) dalam dunia pendidikan. “Terakhir, LPTK berperan untuk membekali guru dalam mengintegrasikan pemanfaatan teknologi, pedagogi, dan pengetahuan substantif keilmuan dalam pembelajaran (TPACK),” tegasnya.

Senada dengan Prof. Ribut, Prof. Tobroni menyoroti bagaimana model Pendidikan di Muhammadiyah, NU, dan Salafi dalam kerangka Karakter Islam dan Indonesia dalam Gerakan Islam Mainstream. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukannya tahun 2018, semakin kuat sebuah ormas memperjuangkan moralitas, semakin kuat pula karakter akhlak mulia para anggotanya. Secara khusus, ada tiga varian hubungan dialektis antara keindonesiaan dan keislaman. Muhammadiyah muaranya adalah membangun masyarakat Islami dengan istilah “masyarakat utama”, NU muaranya adalah Islam keindonesiaan atau pribumisasi Islam, sementara salafi muaranya adalah menjadikan Indonesia sebagai umat terbaik sebagaimana zaman nabi dan ulama salaf.  

Para peserta sangat antusias mengikuti gelaran ini. Terbukti, sebanyak 68 judul kajian dari para pemakalah dengan topik professional teacher development (Early Education - University), STEM Education, Collaborative Learning, Computational Thinking, Lesson Study for Learning Community(LSLC), Local Potential-Based Learning, Innovative Learning Media and Resources, Virtual Learning Innovations, School-Based Management, Remote/Virtual Internship, thematic Learning, Freedom to Learn Arabic Education, Modernization of Islamic Education and Thought, Moderate Practices of Islamic Education in Islamic Boarding Schools and Madrasah telah dipresentasikan di hadapan para peserta. Antusiasme para pemakalah ini salah satunya adalah karena paper para pemakalah ini nantinya akan dipublikasikan di prosiding yang diterbitkan oleh CRC Press yang merupakan bagian dari Routledge Taylor & Francis Group. Untuk memastikan bahwa seluruh makalah memenuhi standar CRC Press, ICEdu FKIP UMM akan menggelar workshop setara 64 JP untuk penyempurnaan naskah bagi para pemakalah. Kegiatan ini akan digelar pada tanggal 1 dan 8 Oktober 2022. (*fid)

Shared: